top of page
  • ELF_admin

Salahkah Menjadi Homoseksual?

Updated: Mar 17, 2020

Rainbow Flag

Rainbow Flag / Bendera Pelangi, Lambang dari LGBT yang dipercaya sebagai persamaan hak dan penerimaan keberbedaan sebagai hal yang memperindah


26 Juni 2015 menjadi hari yang paling bersejarah, terutama bagi orang-orang yang mengalami orientasi homoseksual, atau lebih dikenal dengan istilah LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender). Pada hari itu, US Supreme Court memutuskan kesamaan hak bagi kelompok LGBT untuk dapat menikah dan dilindungi secara legal.


Isu ini terus menjadi isu yang kontroversial, terlihat dari hanya selisih satu suara antara para hakim konstitusi yang membuat keputusan: 5 orang menyatakan setuju dan 4 orang lainnya menyatakan tidak setuju. Keputusan ini juga dapat dikatakan menjadi salah satu keputusan paling kontroversial yang dirasakan warga Amerika. Bukan hanya itu, implementasi dari keputusan itu juga dirasakan di berbagai negara lainnya, termasuk Indonesia, mengingat Amerika sering dianggap sebagai negara yang paling berpengaruh, termasuk dalam menentukan ‘peradaban’ manusia.


Pasca hari itu, lebih banyak orang yang dapat secara terbuka mengakui orientasi seksualnya, termasuk di Indonesia. Mulai banyak orang dari kelompok LGBT yang melakukan coming out (mendeklarasikan diri tentang status orientasi homoseksualnya) kepada orang lain. Beberapa orang menganggap ini sebagai hal wajar karena mereka perlu mendapat hak yang sama dengan orang-orang lainnya, sementara beberapa lainnya menganggap ini sebagai suatu indikasi degradasi moral, bahkan ada pula yang mengaitkannya dengan hal yang lebih spiritual: sebagai tanda-tanda zaman akhir.

Siapapun memang bebas menentukan pendapat dan posisinya. Namun penting bagi kita untuk mempertimbangkan beberapa data dan fakta sebelum mengekspresikan pendapat, sehingga apa yang dapat disampaikan, dapat dipertanggungjawabkan.

Berikut beberapa hal terkait LGBT yang perlu kita ketahui.


#1. Dalam dunia psikologi, LGBT tidak lagi dianggap sebagai gangguan psikologis.

Sejak diterapkannya DSM-III-R (Diagnosis and Statistical Manual for Mental Disorders), LGBT tidak lagi dianggap sebagai gangguan psikologis. Isu yang berkembang mengatakan bahwa banyak perumus DSM yang juga kelompok LGBT sehingga memperjuangkan agar LGBT tidak lagi dianggap sebagai psikopatologi. Walau demikian, orang-orang yang mengalami gangguan identitas terkait dengan orientasi seksual sebenarnya masih terklasifikasi dalam jenis gangguan tertentu (dalam DSM-V disebut body dysphoria; merasa berada di dalam tubuh yang salah, sehingga menyukai sesama jenis). Beberapa kalangan menyebutkan bahwa dasar penentuan gangguan psikologis menurut DSM ialah prevalensi statistik (seberapa banyak orang yang mengalami gangguan tersebut) dalam masyarakat, sehingga jika jumlahnya sudah semakin banyak, maka yang dianggap ‘tidak normal’ menjadi ‘normal’.  Tetapi sesungguhnya, bisa juga yang terjadi sebaliknya: karena dianggap tidak merupakan gangguan psikologis, maka banyak orang-orang yang bereksperimen dengan melakukan hubungan sesama jenis dan akhirnya menjadi homoseksual.


#2. LGBT tidak lebih buruk dari fobia atau depresi, namun perlakuan orang lain membuatnya seolah-olah menjadi lebih buruk.

Ini yang seringkali keliru dalam masyarakat. Kaum homoseksual seringkali mendapat stigma yang begitu negatif, sehingga seolah-olah mereka menjadi warga kelas dua, orang-orang terkutuk, dan mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Dalam dunia psikologi sosial, dikenal istilah ostracism (suatu bentuk diskriminasi dan pengabaian yang ekstrim kepada orang lain). Ostracism merupakan bentuk ‘sanksi sosial’ yang sangat kejam, karena efeknya sangat besar bagi kondisi psikologis korbannya (mulai dari depresi bahkan ada yang hingga melakukan upaya bunuh diri). Agaknya itulah yang dialami oleh kelompok LGBT. Tekanan dan penolakan sosial begitu kuat sehingga menimbulkan berbagai manifestasi gejala psikologis lain yang menyertai kelompok LGBT. Padahal, mereka jelas adalah orang normal yang sangat dapat berfungsi secara sosial, interpersonal, dan intelektual, hanya fungsi seksual dan persepsi hubungan romantisnya saja yang berbeda dengan kebanyakan orang pada umumnya. Mereka jelas tidak lebih parah dari orang yang depresi, fobia, atau gangguan psikologis lainnya, namun perlakuan masyarakat terhadapnya sangat berlebihan sehingga membuat mereka seakan-akan jauh lebih parah. Pertanyaan sederhana yang dapat membantu memetakan seberapa persepsi kita terhadap kaum LGBT: “mana yang lebih baik (harus pilih salah satu): memiliki saudara yang mengalami adiksi narkoba atau yang homoseksual?”


#3. Mayoritas orang dengan homoseksual adalah korban, bukan pelaku.

Persepsi seseorang tentang seksual dan kenikmatan seksual berkembang melalui pengalaman di masa perkembangannya. Menurut teori psikoanalisa, usia sebelum akil balik sangat menentukan sisa hidup orang tersebut, termasuk bagaimana orientasi seksualnya berkembang. Namun dalam kenyataannya, homoseksual juga dapat berkembang karena pengalaman traumatis yang terjadi di masa dewasa orang itu (walau perkembangan yang terjadi di masa dewasa cenderung lebih mudah dikembalikan orientasinya ke heteroseksual). Beberapa cerita dari kaum homoseksual mengekspresikan bagaimana hilangnya peran salah satu orangtua, kejadian pemerkosaan dengan sesama jenis di masa kecil, atau penolakan berlebihan di masa remaja menjadi sebab yang membuatnya mengembangkan orientasi homoseksual. Namun anehnya, dalam masyarakat, mereka yang sebenarnya korban seringkali dianggap sebagai pelaku sehingga ditimpali dengan sanksi sosial yang berlebihan.


Di sisi lain, bagi kelompok LGBT, persepsi sebagai korban seringkali dianggap sebagai dalih yang membenarkan perilakunya, sehingga membuatnya terus mengembangkan orientasi homoseksualnya. Tentu ini juga merupakan hal yang keliru, karena ‘seseorang bisa saja merasa masa kininya merupakan akibat dari masa lalunya, tetapi tidak boleh menyerahkan masa depannya sebagai akibat dari masa lalunya!’. Saya sangat percaya perjuangannya sangat besar dan seringkali merupakan perjuangan seumur hidup, tetapi bukan menjadi hal yang tidak mungkin jika disertai dengan kebulatan tekad dan komitmen untuk memeluk nilai-nilai hidup yang sesuai dengan filosofi spiritualnya.


#4. Homoseksual dapat dikontrol.

Ini yang terus menjadi pertanyaan bagi mereka yang menemukan dirinya mengalami homoseksual, namun tidak mau menerima dirinya demikian. Pertanyaan yang lantas muncul ialah: “dapatkah saya disembuhkan?”. Jawabannya, tidak. Homoseksual bukan penyakit layaknya influenza atau diare sehingga perlu disembuhkan. Mereka tidak pernah sakit, sehingga jelas tidak perlu disembuhkan. Namun mereka memiliki orientasi yang berbeda. Kunci utamanya ialah kesadaran diri bahwa perbedaan orientasi seksual itu bukan hal yang tepat.


Ini penting karena cukup banyak dari mereka yang menuntut persamaan hak dengan menganggap bahwa setiap orang memiliki hak untuk berekspresi, termasuk mengekspresikan kenikmatan seksual melalui orientasi homoseksualnya. Perdebatan ini biarlah menjadi pergumulan hati mereka, tidak perlu ditentang maupun dipaksakan karena toh pemaksaan tidak pernah berujung pada hal yang diharapkan. Namun penting sekali untuk diberitahu mengenai fakta yang sebenarnya terjadi: bahwa homoseksual bukan merupakan natur awal manusia, jarang sekali orang yang ditemukan dilahirkan dengan homoseksual, dan bahwa homoseksual dapat dikontrol.


Upaya intervensi psikologis untuk membantu orang yang mengalami homoseksual dan ingin mengubah orientasi seksualnya bermacam-macam, ada berbagai terapi yang dapat diterapkan dengan tingkat efektivitas yang beragam tergantung dari kliennya. Namun, sekali lagi, kunci utamanya ialah kesadaran diri akan kondisi saat ini, penerimaan akan peristiwa kurang menyenangkan yang mungkin pernah terjadi di masa lalu, serta kebulatan tekad untuk berubah. Orang-orang yang mengalami homoseksual di masa dewasa (setelah remaja) biasanya lebih mudah untuk diubah daripada mereka yang mulai mengembangkan homoseksual di masa remajanya. Wujud perubahan pasca terapi pun beragam, ada yang sampai mampu menjadi heteroseksual, ada pula yang menganggapnya sebagai perjuangan seumur hidup dengan melawan godaan homoseksual dan tidak mengembangkan orientasi heteroseksual. Tentu, di balik segala upaya terapi yang ada, upaya intervensi paling mudah ialah dengan meminta klien menerima kondisinya saat ini dan menumbuhkan kepercayaan diri sebagai orang dengan homoseksual. Namun, saya percaya ini bukan cara yang bijaksana, terutama apabila klien sebenarnya menemukan bahwa hal tersebut adalah hal yang salah bagi dirinya.

Apakah homoseksual salah? Seringkali saya ditanyakan pertanyaan ini. Bagi saya, lebih penting untuk menjawab bagaimana kita mempersepsikan mereka yang mengalami homoseksual, karena pertanyaan benar atau salah membutuhkan pedoman, dan mungkin beberapa orang memiliki pedoman yang berbeda dengan orang lain. Artinya penilaian ini sangat bergantung pada standar moral yang ingin kita gunakan.


Bagaimana pun, penilaian terhadap homoseksual tidak pernah dapat menjadi alasan yang memperbolehkan kita untuk mendiskreditkan mereka, karena sejatinya mereka adalah korban dan kebanyakan dari mereka tidak menginginkan kondisi demikian. Begitu pula sebaliknya, bagi mereka yang mengalami homoseksual, posisi sebagai korban dan kesadaran bahwa hal tersebut adalah salah menurut kacamata agamanya tidak boleh menjadikan alasan untuk diri berpasrah dan ‘menikmati kesalahannya’.


Memperbaiki kondisi homoseksual memerlukan perjuangan dari dua belah pihak. Dari masyarakat, berhentilah menolak mereka karena mereka bukan orang yang begitu keji. Mulailah anggap mereka sebagai korban yang sebenarnya mungkin ingin berubah dan mungkin saja akan dapat berubah dengan penerimaan atas diri mereka. Anda boleh membenci perilakunya, tetapi justru Andalah yang menjadi salah ketika membenci pelakunya. Bagi mereka yang mengalami homoseksual, percayalah bahwa Anda selalu memiliki hak untuk memilih masa depan Anda melalui apa yang Anda lakukan hari ini.

“If you want to change attitude, try to start to change your behavior.” – William Glasser
21 views0 comments
bottom of page