Marah adalah reaksi emosi yang hampir selalu muncul jika seseorang merasa dirinya terancam, tidak aman, baik karena kejadian yang tidak sesuai dengan harapan, kecewa, atau berbagai hal lain. Beberapa orang mengerti dan selalu berusaha untuk membuat mereka mengerti penyebab kemarahannya, sementara beberapa orang lainnya didominasi oleh emosi dan reaksi marahnya, membiarkan kemarahannya mengontrol dirinya tanpa mengerti dengan jelas sebab kemarahannya.
Ada beberapa orang yang mempunyai batas toleransi yang lebih besar terhadap rasa marah, sehingga baginya, suatu masalah yang berpotensi membuat marah, tidak memicu reaksi kemarahan. Sementara itu, ada pula orang-orang yang mempunyai toleransi yang sangat kecil terhadap kemarahan, membuatnya mudah marah terhadap hal-hal sepele yang bagi kebanyakan orang tidak terlalu mengganggu.
Penting untuk kita ketahui bahwa marah adalah reaksi yang normal dan wajar. Normal artinya dialami oleh hampir semua orang. Wajar artinya bukan sesuatu yang perlu dihindari, ditekan, atau dianggap salah. Tidak ada yang salah dengan marah; ia terjadi dan tidak perlu disembunyikan. Yang seringkali menjadi salah ialah ketika kemarahan tidak diekspresikan dengan sesuai.
Secara umum, ada 3 reaksi utama seseorang dalam mengatasi emosi kemarahannya:
Diekspresikan, baik dalam bentuk luapan kata-kata atau perilaku yang agresif,
Diredakan, umumnya dilakukan dengan mengganti pusat perhatian sehingga reaksi marah secara tidak sadar hilang (namun tetap ada di dalam ketidaksadaran),
Ditekan ke alam tidak sadar, dengan cara menahan diri sedapat mungkin agar reaksi marah tidak ditampakkan dalam keseharian.
Ketiga reaksi di atas adalah reaksi yang kurang tepat dalam mengatasi kemarahan karena tidak pernah diselesaikan dengan tuntas, bahkan sangat rentan untuk menimbulkan masalah baru.
Untuk dapat menyalurkan kemarahan dengan tepat dan sesuai, kita perlu mengetahui hal-hal berikut:
Reaksi marah bagaikan asap dari air yang sedang mendidih. Seolah-olah ia dapat dengan mudah ditekan dan dihilangkan, namun ketika kita mendidihkan air dalam panci tertutup sampai beberapa waktu, ia akan terus mencari cara untuk dapat keluar bahkan sampai dapat meledakkan wadahnya. Jadi, reaksi marah menuntut untuk diekspresikan.
Marah memang emosi negatif, tetapi ekspresi rasa marah tidak harus menimbulkan pengalaman negatif. Ketiga cara utama yang dijabarkan di atas, jika dilakukan secara ekstrim, bukan saja tidak menyelesaikan emosi negatif, tetapi juga menimbulkan berbagai kejadian baru yang juga negatif. Mengekspresikan kemarahan yang tepat membutuhkan strategi yang sesuai.
Beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam mengontrol rasa marah, ialah:
Relaksasi. Ketika marah terasa tidak dapat dikontrol, cara terbaik ialah jangan melakukan apa yang pertama kali Anda ingin lakukan saat kemarahan memuncak! Cobalah untuk mengambil waktu sendiri sejenak, menarik nafas dalam-dalam, dan alihkan sejenak pikiran Anda kepada beberapa pengalaman atau memori yang menyenangkan.
Libatkan logika dalam menganalisa situasi. Setelah emosi sesaat sudah berhasil dikuasai, cobalah untuk memikirkan kembali peristiwa yang terjadi. Sebisa mungkin, berhati-hatilah dengan kata “selalu“, “tidak pernah“, “pasti” dan hal-hal yang absolut, seolah-olah situasi sudah tidak dapat berubah kembali. Ingatlah, logika selalu mengalahkan emosi; dan emosi tidak pernah menyelesaikan masalah. Jadi satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah ialah dengan berpikir logis; dan agar dapat berpikir logis, penting untuk meredakan emosi sesaat yang memuncak.
Komunikasikan dengan orang yang dapat dipercaya. Masalah yang begitu berat dan membangkitkan amarah seringkali menyulitkan kita membuat perspektif yang faktual tentang masalah itu yang sebenarnya. Ajaklah teman atau orang yang dapat dipercaya untuk berdiskusi. Bahkan hanya dengan mendiskusikan masalah itu saja, kemarahan akan sedikit demi sedikit mereda.
Belajarlah untuk tertawa. Marah adalah reaksi tidak terelakkan, dan kemarahan memang menuntut untuk diekspresikan. Namun ia tidak pernah menuntut untuk diekspresikan dengan agresif. Ketika kemarahan memuncak, cobalah untuk berhenti sejenak dan tertawa, sambil melihat masalah dari perspektif yang berlawanan. Bukan saja kemarahan mereda, dengan melakukan hal tersebut, kita dapat belajar bersyukur dari setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup kita.
Hukum apapun di dunia ini tidak pernah melarang seseorang untuk marah, karena marah ada bukan untuk ditekan; tetapi ironisnya banyak orang yang mendapat hukuman (sosial, legal, moral, agama) karena mengekspresikan kemarahannya dengan cara yang keliru.
“When angry, count to ten before you speak. When very angry, count to one hundred.” – Thomas Jefferson
댓글