top of page
  • ELF_admin

5 Pertanyaan yang Sering Ditanyakan Seputar Psikotes Kerja

Updated: Mar 17, 2020


Tahap psikotes sebagai bagian dari rangkaian proses seleksi karyawan di Indonesia merupakan tahap yang krusial dan bagi beberapa orang kerap dianggap sebagai momok menakutkan. Beberapa berdalih psikotes merupakan proses yang kurang efektif karena rentan terhadap kekeliruan dalam mengevaluasiseseorang. Beberapa lainnya membandingkan dengan situasi di kebanyakan negara maju, yang jarang menggunakan psikotes dalam menyeleksi karyawan. Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan perusahaan masih mengandalkan hasil psikotes sebagai salah satu faktor untuk mempertimbangkan kelayakan kandidat untuk mengisi posisi yang dibutuhkan.


Artikel ini mengulas 5 pandangan yang paling sering muncul terkait psikotes di lingkungan kerja serta menyajikan argumen mengenai benar atau tidaknya pandangan tersebut.


#1. PERLUKAH BELAJAR SEBELUM PSIKOTES?

Saran paling umum yang diberikan perusahaan kepada kandidat yang dirujuk untuk mengikuti psikotes ialah: makan dan tidur cukup. Cukupkah? Jawabannya, ya. Psikotes tidak sesempit menguji kompetensi seseorang. Aspek terpenting yang hendak dievaluasi melalui proses psikotes ialah area kekuatan dan kelemahan orang tersebut, baik secara kognitif, emosi, maupun sikap kerja, dan bagaimana kesesuaian kombinasi profil kandidat dengan ekspektasi peran dari posisi yang akan dikerjakan. Jadi, yang terpenting sesungguhnya adalah menampilkan diri yang sebenarnya.


#2. SAYA MENDAPAT KUNCI JAWABAN DARI BEBERAPA TES YANG SERING DIPAKAI PSIKOTES. MEMBANTU / MENYESATKAN?

Tentu sudah jelas jawabannya: tidak membantu. Lembaga penyelenggara psikotes biasanya mengandalkan tes yang sangat variatif sehingga tidak memungkinkan untuk menerka jenis tes yang akan digunakan. Bukan hanya itu, proses psikotes merupakan proses yang eklektik, lebih daripada sekadar menggabungkan skor. Artinya, dalam rangkaian proses itu akan dilihat konsistensi dari kandidat. Jika kandidat katakanlah memiliki skor sempurna pada satu subtes, sementara di subtes lain yang mengukur hal yang sama, dia tidak mendapat skor yang tinggi, tentu menjadi tanda tanya yang berpotensi menurunkan integritas dan konsistensi kandidat. Penting untuk diingat bahwa skor sempurna pada setiap subtes psikotestidak menjamin kandidat akan mendapat rekomendasi psikologi yang positif. Skor yang akurat menggambarkan diri secara konsistenlah yang lebih menentukan.


#3. SAYA MELAMAR POSISI SEBAGAI MARKETING, APAKAH RELEVAN MENGERJAKAN TES MATEMATIKA DAN LOGIKA BANGUN RUANG YANG KOMPLEKS?

Sekali lagi, dalam proses psikotes yang hendak dicari adalah kompetensi secara umum dan kesesuaiannya dengan posisi yang hendak ditempati. Untuk mendapat gambaran kandidat secara umum, maka diperlukansampling behaviour atau perilaku sampel yang diujikan, dan performa kandidat dalam tes itulah yang kemudian dijadikan acuan untuk mengeneralisasi kemampuan kandidat secara umum. Artinya, subtes matematika dalam proses psikotes bukan hanya mengukur seberapa pintar seseorang berhitung, tetapi ada kemampuan dan proses mental lain yang turut diukur di dalamnya.


#4. SAYA PALING KESULITAN DENGAN TES GAMBAR. APAKAH SEBENARNYA TES INI? BAGAIMANA SAYA HARUS MENGGAMBAR AGAR MENDAPAT NILAI POSITIF?

Di antara sekian banyak tes yang digunakan dalam proses psikotes, tes gambar, atau yang dikenal dengan tes proyektif, merupakan tes yang paling populer dan paling sering digunakan. Berbeda dengan tes kompetensi yang memiliki kunci jawaban, tidak ada kunci jawaban untuk tes ini. Artinya, interpretasinya lebih daripada sekadar jawaban benar atau salah, lebih daripada menilai gambar Anda benar atau salah. Begitu cemasnya beberapa kandidat dengan tes ini, seringkali yang dijumpai justru kandidat menggambar dengan tema atau bentuk yang persis dengan apa yang disebut ‘contekan’ dan disebar di internet maupun buku-buku tips tentang psikotes. Ini merupakan kesalahan fatal.


Bagi psikolog yang terlatih menginterpretasikan tes proyektif, sangat mudah untuk mengenali apakah seorang kandidat menggambar dengan meniru atau tidak. Sejatinya, aspek yang diinterpretasi dari tes ini bukan hanya bentuk gambar, melainkan juga tipe dan cara menggores. Lebih penting lagi, tes ini juga diinterpretasikan sinergis dengan tes-tes lain untuk menggambarkan profil psikologis yang utuh dari seseorang. Banyak sekali kandidat yang terjebak dengan tes ini karena menggambar dengan meniru dan akhirnya hasilnya tidka konsisten dengan tes-tes lain yang dikerjakannya. Inkonsistensi demikian dapat diinterpretasikan negatif, mulai dari kurangnya integritas kandidat, kurangnya kepercayaan diri, ada keinginan untuk menutupi kelemahan, dan sebagainya.


#5. PERLUKAH WAWANCARA DALAM PROSES PSIKOTES?

Beberapa psikolog menekankan pada proses wawancara dalam mengevaluasi kandidat, sementara beberapa lainnya lebih mengutamakan respons kandidat dalam situasi tes. Keduanya tidak salah dan baik psikotes maupun wawancara sama-sama diperlukan. Bagi beberapa orang, ketika ia tahu ia sedang dinilai, maka proses wawancara merupakan proses manipulasi paling nyata di mana kandidat menampilkan jawaban yang dianggapnya paling baik dan paling benar. Tentu hal ini wajar karena setiap orang ingin menunjukkan diri terbaiknya. Oleh karenanya, psikotes diperlukan. Sekali lagi, untuk menilai sejauh mana sifat-sifatnya konsisten antara apa yang diekspresikan dalam tes maupun dalam wawancara.


Lebih daripada itu, dalam proses wawancara, evaluasi juga tidak sebatas jawaban yang disampaikan. Psikolog atau interviewer yang sudah terlatih bahkan jarang memerhatikan jawaban (content), melainkan aspek-aspek lain yang menyertainya, seperti: tatap mata saat wawancara, gerakan dan ekspresi non-verbal saat menjawab, nada dan intonasi bicara, bahkan posisi duduk. Banyak faktor turut dinilai dan area-area yang seringkali tidak disadari oleh orang awamlah yang biasanya menjadi fokus evaluasi karena area-area itu tidak dimanipulasi, sehingga menggambarkan profil yang lebih akurat.



Perlu ditekankan bahwa psikotes tidak mencari kandidat yang sempurna di dalam segala aspeknya, karena jika demikian, maka proses pikotes adalah proses sia-sia karena tidak akan menemukan satu orang pun yang sempurna. Psikotes hendaknya dianggap sebagai proses ketika konsistensi seseorang dievaluasi. Satu-satunya cara menampilkan diri secara konsisten ialah dengan menjadi diri sendiri, maka tidak perlu belajar, apalagi mencontek. Psikotes ialah semudah menampilkan diri yang sebenarnya.


Rekomendasi negatif dari hasil psikotes pun harus dipahami secara positif. Artinya, ketika kandidat disebut tidak direkomendasikan untuk posisi kerja tertentu, itu artinya ketika dipaksakan mengisi posisi itu, bisa saja kandidat tersebut akan merasa tertekan, kesulitan untuk memenuhi ekspektasi, karena profilnya tidak sesuai dengan peran yang diharapkan. Ingat, psikotes bukan proses menilai seberapa sempurnakandidat, tetapi seberapa sesuaidia, sehingga lingkupnya sangat spesifik. Gagal dalam psikotes bukan berarti kandidat buruk, karena selain underqualified, overqualified juga menjadi salah satu alasan seseorang kurang direkomendasikan di posisi tertentu.


Lantas, apa yang perlu dipersiapkan untuk menghadapi psikotes? Makan dan tidur cukup.


11,929 views0 comments
bottom of page