top of page
  • ELF_admin

Adam, Hawa, dan Ilmu Pengetahuan

Updated: Mar 17, 2020

BENARKAH ADAM DAN HAWA MEMAKAN BUAH APEL SEHINGGA JATUH KE DALAM DOSA?


Kisah Adam dan Hawa bisa jadi merupakan salah satu kisah Alkitab yang pertama kali melekat dalam otak saya. Dibesarkan di keluarga berlatar belakang Kristen, berbagai kisah-kisah dalam Alkitab saya dengar setiap minggu melalui kegiatan di Sekolah Minggu. Selain itu, kisah ini sepertinya juga merupakan kisah yang cukup populer, sehingga sebagian dari mereka yang bukan Kristen pun mungkin mengenal benar kisah ini.


Akan tetapi, setelah bertahun-tahun mengenal kisah ini, saya menemukan fakta yang menarik ketika kembali merenungkannya dalam suatu persekutuan doa yang saya hadiri. Izinkan saya mengutip ayat dalam kitab ini: “..bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat. … lagipula pohon itu menarik hati karena memberi pengertian.” (Kej. 3:5-6). Sejak pertama mendengar kisah ini, saya takjub dan heran: buah macam apa yang dapat memberi pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat? Dalam benak saya, pastilah dalam buah tersebut terkandung unsur-unsur ‘magis’ dan ajaib yang dapat memberikan kuasa tertentu, membuka pikiran kita, dan membuat kita menjadi pandai, hebat seperti Allah.


Dalam Kejadian 2 : 9, Alkitab menjelaskan bahwa pohon tersebut merupakan ‘pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat’. Tidak disebutkan secara detail apa pohon tersebut dan buah apa yang dimaksud sebagai buah yang baik dan yang jahat. Beberapa orang kemudian berspekulasi mengenai apa jenis buah ini. Hingga hari ini, cukup terkenal bahwa buah yang dimakan oleh Adam dan Hawa adalah buah apel. Itulah sebabnya istilah ‘jakun’ dalam Bahasa Inggris disebut sebagai ‘Adam’s Apple’ karena – entah hanya lelucon atau memang benar menjadi penyebabnya – konon saat memakan buah itu, Adam terkejut sehingga tersedak.


Akan tetapi, hasil penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa kata apel pada sebelum abad ke-17 digunakan untuk menyebut segala jenis buah-buahan selain berries, termasuk kacang-kacangan (dalam dictionary.reference.com). Di samping itu, kata ‘apel’ dalam Bahasa Latin ialah mālum, serupa dengan kata ‘setan’ atau ‘ketidakberuntungan’ yang dalam Bahasa Latin ialah mălum. Kedua hal inilah yang membuat sebagian orang menginterpretasikan bahwa buah yang dimakan oleh Adam dan Hawa adalah buah apel. Tetapi, apakah benar memakan apel bisa membuat kita mengetahui apa yang baik dan yang jahat? Atau bahkan bisa membuat kita mati? Atau mungkin khasiat ‘magis’ tersebut telah hilang pasca kejadian Adam dan Hawa?


Dalam perenungan yang saya lakukan, saya mendapat pemahaman yang baru yang dapat memberikan penjelasan yang lebih logis-pragmatis mengenai ayat ini. Jika dikaitkan secara kontekstual, pada saat manusia pertama (Adam dan Hawa) tinggal di Taman Eden, segala sesuatu terasa damai, nyaman, dan ‘benar’, dan tidak ada kesalahan. Apa yang manusia ketahui pada saat itu hanyalah ‘kebenaran’ – karenanya manusia dapat hidup bersama-sama dengan Allah.


Akan tetapi, Allah membuat suatu ‘aturan main’ dalam taman itu: bahwa segala sesuatu boleh dilakukan dalam hidup Adam dan Hawa, kecuali memakan satu jenis buah yang telah ditetapkan oleh Allah. Allah, dalam segala ke-Allah-annya paham betul tentang kelemahan dan titik lemah manusia. Oleh sebab itu, dalam menyampaikan ‘aturan main’ ini, Allah mengatakan agar Adam dan Hawa tidak memakan atau bahkan merabanya agar tidak mati (ay.3). Aturan main ini tentu membuat manusia menjadi takut karena dipikirnya bahwa buah ini sungguh beracun dan tidak baik baginya. Allah bahkan melarang manusia untuk meraba, bukan hanya memakannya, menyadari betapa lemahnya manusia jatuh ke dalam godaan (karena ketika manusia bisa merabanya, mungkin saja manusia tidak akan tahan untuk tidak mencicipinya).


Namun, iblis, dalam segala kelicikannya, berusaha untuk membuat manusia jatuh ke dalam dosa. Iblis merayu dan mengatakan bahwa buah itu membuat manusia memahami apa yang benar dan yang salah, serta dapat memberi pengertian. Inilah yang membuat manusia tergiur – dan inilah titik kejatuhan manusia.


Setelah Adam dan Hawa memakannya, buah tersebut memang tidak mengandung ‘racun’ yang mematikan secara jasmaniah. Adam dan Hawa tidak mati setelah itu. Akan tetapi, racun yang mematikan itu ternyata mematikan hubungan rohani manusia dengan Allah. Sebetulnya, bukan karena buahnya yang ajaib dan mengandung unsur magis, tetapi tindakan manusia yang ‘melanggar aturan main’ inilah yang membuka mata mereka, khususnya mengenai apa yang baik dan apa yang jahat. Buah tersebut mungkin hanya satu dari sekian banyak buah yang tidak memiliki ‘kandungan khusus’, tetapi memakan buah tersebut merupakan tindakan melawan aturan Allah yang jelas menimbulkan konsekuensi tersendiri. Jadi, bukan buahnya yang penting, melainkan momentum memakan buah yang terlarang itu yang lebih bermakna.


Sejak memakan buah itu – sejak melanggar aturan Allah –, benarlah kata si iblis bahwa manusia kini mengetahui apa yang baik dan yang buruk. Manusia bukan hanya mengenal kebenaran tetapi juga mengenal kesalahan, bahkan melakukan kesalahan. Dengan demikian, peristiwa memakan buah itu menjadi suatu momentum ketika manusia memiliki ‘pengertian tentang yang baik dan yang jahat’. Sama seperti analogi berikut ini: kita tidak akan pernah mengetahui adanya warna hitam jika tidak pernah ada warna putih (atau warna-warna lainnya). Artinya, definisi kita mengenai warna hitam tidak akan pernah terbentuk jika tidak ada warna-warna lain, atau dengan kata lain, istilah ‘warna hitam’ sebenarnya sama saja dengan istilah ‘warna’, karena tidak ada warna-warna lain. Atau, ilustrasi yang lebih mudah dipahami: definisi kita mengenai ‘burung nuri’ mungkin sama dengan definisi kita mengenai ‘burung’ jika tidak ada burung-burung lain di dunia ini. Namun, karena adanya burung-burung lain di dunia ini, maka definisi mengenai ‘burung nuri’ memberikan pemahaman yang lebih spesifik bahwa burung nuri merupakan burung yang berbeda dengan burung kakak tua, burung gereja, dan seterusnya. Kembali kepada kisah Adam dan Hawa, setelah memakan buah tersebut dan melakukan kesalahan, manusia kini memang benar mendapat ‘pengertian’ tentang yang baik dan yang jahat. Ia tahu apa itu kesalahan. Ia tahu apa itu dosa, dan benarlah pula apa yang dikatakan Allah bahwa “janganlah kamu makan ataupun raba buah itu, nanti kamu mati.” Pengertian tentang yang benar dan yang salah diperoleh manusia, tetapi karena ‘kesalahan’ yang dilakukannya, maka manusia harus mati. Melawan aturan Allah berarti berbuat dosa, dan upah dosa ialah maut (Rm 6:23).


Melalui pemahaman tersebut, saat ini kita mengetahui bahwa bukan magisnya buah tersebut yang membuat manusia menjadi ‘pandai’, tetapi momen ketika manusia memakan buah tersebut memberikan pengalaman tentang kesalahan (yang menimbulkan pengertian mengenai yang baik dan yang buruk), dan sekaligus membuat manusia harus mati dan binasa. Pemahaman ini konsisten dengan apa yang menjadi esensi ilmu pengetahuan yang terus berkembang hingga saat ini.


Ada empat manfaat ilmu pengetahuan: to describe, to explain, to predict, dan to control. Ilmu pengetahuan berfungsi untuk menggambarkan fenomena yang benar atau ‘seharusnya’ berdasarkan hubungan logis, menjelaskan bagaimana suatu fenomena disebut ‘benar’ dan ‘salah’, memprediksi apa yang akan terjadi dari suatu fenomena yang ‘benar’ atau ‘salah’, serta melakukan kontrol terhadap suatu fenomena agar menjadi ‘benar’. Untuk membuatnya lebih konkrit lagi, tentu kita mengetahui bahwa ilmu pengetahuan berkembang melalui berbagai penelitian. Penelitian diawali dari adanya masalah. Masalah merupakan kesenjangan antara apa yang ideal (benar) dan apa yang sebenarnya terjadi (tidak ideal = tidak benar = salah). Kisah Adam dan Hawa yang jatuh ke dalam dosa pada akhirnya menghasilkan ilmu pengetahuan, yang terkesan ‘hebat’ karena dapat membedakan yang benar dan yang salah, tetapi juga yang sebenarnya tidak kita perlukan ketika ‘tidak ada yang salah’. Andai Adam dan Hawa tidak berbuat kesalahan (baca: dosa) pada masa itu, tentu ilmu pengetahuan tidak diperlukan karena segala sesuatu adalah benar dan tidak perlu mengetahui tentang kesalahan. Jadi, pengetahuan perlu sepanjang ada kesalahan (baca: ketidaklogisan, kekeliruan, penyimpangan). Namun, tidak ada gunanya menyesali apa yang dilakukan oleh Adam dan Hawa – karena tidak ada penyesalan yang dapat menghapus kesalahan. Tidak penting apa jenis buah yang dimakan oleh Adam dan Hawa, tetapi lebih penting pemaknaan terhadap ‘momentum Adam dan Hawa yang memakan buah tersebut’, yang membuat manusia jatuh ke dalam dosa. Apa yang dapat kita lakukan sekarang ialah memahami benar tentang kebenaran dan kesalahan (berdasarkan ‘pengetahuan’ yang diperoleh sejak ‘momen ketika Adam dan Hawa memakan buah itu’), dan melakukan apa yang benar. Sebagai orang percaya, sumber kebenaran adalah Firman Tuhan, dan melakukan apa yang benar adalah melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan, karena kematian yang seharusnya menghantui kita, telah lenyap melalui karya penyelamatan-Nya.

788 views0 comments
bottom of page