Benarkah doa berkuasa?
Pertanyaan ini menjadi salah satu pertanyaan menarik dalam dunia psikologi yang beririsan dengan Kristen. Menurut psikologi yang sangat mengedepankan objektivitas, kuasa doa yang ‘tak terukur’ secara objektif meninggalkan suatu tanda tanya besar. Beberapa konsep psikologi dianggap tepat untuk menjelaskan mengapa sebagian orang menganggap doa berkuasa, seperti: self-fulfilling prophecy, keyakinan dalam diri bahwa doanya berkuasa sehingga menyebabkan apa yang diinginkan terjadi; mere-exposure effect, karena sering mengulang harapan-harapannya dalam doanya, maka kejadian di dalam hidupnya seolah-olah memenuhi harapannya; atau bahkan magical thinking, menganggap peristiwa yang tidak berhubungan sama sekali seolah-olah menjadi memiliki hubungan logis dan dikaitkan dengan harapan terkabul dalam doanya.
Banyak orang yang bersikap skeptis terhadap agama memandang bahwa doa hanya merupakan upaya manusia untuk memberikan ketenangan di dalam dirinya. Pendapat mereka diperkuat oleh fakta bahwa tidak semua doa terkabul, sehingga doa yang terkabul sebenarnya hanya disebabkan oleh faktor acak (random). Ketika seseorang berdoa agar lulus ujian, misalnya, dan ternyata lulus, maka sebenarnya tanpa berdoa pun ia memang seharusnya lulus.
Eksperimen Doa
Pada tahun 2006, American Heart Journal memuat sebuah artikel penelitian dari Benson et al. (2006) yang menguji ada atau tidaknya pengaruh doa syafaat terhadap kesembuhan atau keberhasilan pasien yang akan menjalankan operasi bypass jantung. Sekitar 1.800 pasien dari enam rumah sakit di Amerika Serikat berpartisipasi dalam penelitian ini. Sebagian pasien didoakan tanpa diberitahu sebelumnya, sedangkan sebagian lainnya didoakan dengan diberitahu sebelumnya. Penelitian ini hendak membuktikan apakah doa atau keyakinan bahwa seseorang didoakan yang memberikan kuasa terhadap seseorang. Secara metodologis dan keilmuwan, penelitian ini tampak sempurna.
Hasil penelitiannya, seperti sudah dapat diprediksi sebelumnya, doa tidak berkuasa menyembuhkan atau menghindari pasien dari komplikasi pasca operasi. Ironisnya, dalam penelitian tersebut, seseorang yang mengetahui bahwa dirinya didoakan justru memiliki kecenderungan komplikasi pasca operasi yang lebih tinggi. Lalu, benarkah doa tidak berkuasa?
Menguji Doa atau Menguji Tuhan?
Myers dalam ulasannya tentang integrasi Psikologi dan Kristen (dalam Johnson, 2012) mengulas tiga hal yang perlu diperhatikan untuk mengkritisi eksperimen di atas:
1. Pemahaman doa direduksi menjadi sekadar mantera.
Dalam Alkitab, Allah adalah inti dari seluruh ciptaan, bukan berperan sebagai pembelok hukum alam, melainkan dasar dari segala hukum alam yang terjadi. Karya Allah bukan hanya ditentukan dari doa kita, tetapi justru kita yang mampu berdoa merupakan bagian dari karya Allah. J.I. Packer (dalam Johnson, 2012) menekankan bahwa doa “bukanlah sebuah usaha memaksa Allah menolong kita, melainkan pemahaman yang penuh kerendahan hati, ketidakberdayaan, dan kebergantungan.”
2. Faktor bising (noise) dan keraguan (doubt).
Mayoritas orang Amerika menyatakan kepercayaannya kepada Allah, sehingga tentu semua pasien yang akan menjalani operasi bypass jantung akan didoakan oleh sanak keluarga dan teman-temannya. Lalu, doa dalam eksperimen ini hanya menambah satu dari sekian doa yang telah dilakukan. Pertanyaannya: apakah Allah menuruti semacam aturan bahwa semakin banyak doa, semakin nyata jawabannya? Apakah kerendahan hati, iman, dan keseriusan pasien tidak cukup memengaruhi? Tentu Anda sudah tahu jawabannya.
Kita perlu memahami bahwa doa tentu lebih dari sekedar mengucapkan kata-kata harapan kepada Tuhan. Lalu, apakah para ilmuwan yang mendoakan pasien-pasien tersebut dalam rangka menguji efektivitas doa mendasarkan doanya pada iman atau keraguan? Tentu kita percaya bahwa doa yang diucapkan dengan keyakinan iman sungguh berkuasa. C.S. Lewis (1947) pernah berkata “kemustahilan pembuktian empiris merupakan kebutuhan spiritual; sebab jika tidak demikian, seseorang mulai merasa mirip dengan pesulap.”
3. Doa jelas tidak dapat memanipulasi Allah yang tidak terbatas.
Jika saja penelitian ini benar terbukti dan doa memang benar selalu terjadi, mengapa masih ada kekeringan, banjir, bencana, bahkan mengapa penyakit kanker masih ada sampai sekarang? Bahkan di dalam Alkitab pun diceritakan bagaimana doa Ayub, Paulus, dan bahkan Tuhan Yesus (saat memohon agar cawan pahit berlalu dari-Nya) tidak terjawab. Jika doa tidak terjawab seperti yang didoakan, apakah itu berarti iman pendoa terlalu kecil?
Secara personal, saya percaya bahwa doa memberikan rasa aman secara psikologis terhadap si pendoa. Dengan mengetahui bahwa ada Seseorang yang berkuasa memberikan kelegaan kepadanya serta Maha Baik dan Maha Kuasa, tentu akan timbul rasa aman bagi orang tersebut. Namun, kuasa doa tentu bukan hanya memberikan rasa aman secara psikologis. Doa berkuasa. Kuasanya bukan ditentukan dari seberapa banyak orang berdoa, tetapi dari seberapa besar orang tersebut mau benar-benar bersandar dan menyerahkan segala kekhawatirannya kepada Tuhan. Yang terpenting ialah bahwa esensi doa bukan untuk merealisasikan segala yang diharapkan dalam doa, melainkan mengekspresikan kerendahan hati, kebergantungan, dan ketidakberdayaan diri kepada Tuhan melalui komunikasi yang intim.
“The function of prayer is not to influence God, but rather to change the nature of the one who prays.” ― Søren Kierkegaard
Referensi:
Johnson, E. L. (2012). Psychology and Christianity: Five views. (2nd ed.). (Heman Elia, Penerj.). Malang: SAAT. (Original work published 2010).
Benson, H., Dusek, J. A., Sherwood, J. B., Lam, P., Bethea, C. F., Carpenter, W., Levitsky, S., Hill, P. C., Clem, D. W., Jain, M. K., Drumel, D., Kopecky, S. L., Mueller, P. S., Marek, D., Rollins, S., & Hibberd, P. L. (2006). Study of the Therapeutic Effects of Intercessory Prayer (STEP) in cardiac bypass patients: A multicenter randomized trial of uncertainty and certainty of receiving intercessory prayer. American Heart Journal, 151 (4), 934-942. Retrived from http://deploy.extras.ufg.br/projetos/adrimelo/filo/2-aula-STEP_paper.pdf
コメント