top of page
  • ELF_admin

Husband & Wife: Competition OR Companion?

Updated: Mar 17, 2020




Jika pada zaman dahulu R.A. Kartini memperjuangkan kesamaan hak perempuan dengan laki-laki, agaknya hari ini usaha tersebut berhasil. Masalah persamaan gender memang sepertinya sudah menjadi masalah yang sangat diperhatikan. Dalam ranah politik, misalnya, 30% dari calon legislatif harus diisi oleh perempuan. Beberapa lowongan pekerjaan pada berbagai sektor bisnis dan industri juga lebih mengutamakan pelamar perempuan daripada laki-laki. Bahkan, saat ini tidak asing jika kita melihat seorang perempuan yang berhasil dalam kariernya, sampai menduduki jabatan tertinggi dalam struktur organisasi. Bukan hanya puncak karier, kemajuan teknologi di masa kini juga memungkinkan para perempuan untuk bekerja online sehingga memperoleh penghasilan yang bahkan lebih besar daripada pekerjaan pasangannya yang bekerja di kantor. Urusan rumah tangga tidak terbengkalai, peran sebagai ibu bagi anak-anak tetap terpenuhi, serta mampu menghasilkan keuangan yang lebih besar dari suami melalui permainan saham atau sekedar berdagang online – tentu itu adalah hal yang ‘ideal’ dan menyenangkan, bukan?


Sebelum adanya penyetaraan gender, konflik dan ketidakpuasan dalam rumah tangga timbul dari sang istri yang merasa seperti ditindas dan mendapat tempat nomor dua. Suami selalu menjadi sentral, pengatur, bahkan diktator dalam memutuskan dan menentukan segala sesuatu, sedangkan istri digambarkan sebagai sosok penurut, tidak berdaya atas kekerasan suami, dan harus berpasrah pada nasib yang menomorduakan kaumnya. Namun sekarang, ketika penyetaraan gender sudah diperhatikan, ternyata konflik dan ketidakpuasan dalam rumah tangga tidak juga hilang. Realitas bahwa sang istri dengan jabatan pekerjaan dan kemampuan finansial yang mengungguli suami seringkali menimbulkan tekanan mental tersendiri bagi sang suami. Lalu, apakah artinya suami tersebut gagal melakukan perannya? Atau apakah hal ini menunjukkan bahwa lebih baik peran kaum perempuan dibatasi kembali?


PERSPEKTIF EVOLUSIONER TERHADAP PERAN GENDER

Larsen dan Buss (2005) dalam bukunya, Personality Psychology, menggambarkan bagaimana peran gender terbentuk dalam masyarakat. Seorang lelaki, menurut perspektif evolusioner, dilahirkan dengan insting untuk menjadi pelindung; sedangkan seorang perempuan memiliki insting sebagai sosok yang selektif. Seorang perempuan berusaha memilih lelaki yang dianggapnya dapat memberikan rasa aman bagi masa depannya serta masa depan keturunannya kelak. Oleh karena itu, lelaki dengan tampilan fisik yang tegap lebih disukai oleh perempuan karena dianggap akan memberikan perlindungan bagi dirinya dan anak-anaknya kelak. Namun, bagi perempuan dengan kemampuan kognitif yang lebih tinggi, tampilan fisik tidak terlalu menjadi faktor. Seorang tokoh psikologi sosial, David Myers (2007), menggambarkan bahwa seorang perempuan dengan kemampuan kognitif lebih tinggi cenderung akan memilih laki-laki yang pandai juga, karena dianggap dapat memberikan jaminan bagi masa depannya, baik secara finansial maupun perencanaan. Sebaliknya, insting laki-laki sebagai pelindung muncul karena melihat perempuan sebagai sosok yang lemah dan perlu untuk dilindungi. Perempuan dianggap sebagai sosok yang perlu disayang, diperhatikan, dan dilindungi. Oleh karena itu, seorang laki-laki akan terpacu untuk bekerja keras dan menghadapi segala tantangan apapun yang membahayakan perempuan.


Jadi, menurut perspektif evolusioner, jelas bahwa peran seorang perempuan ialah untuk memelihara keturunan dan menghidupkan cinta di dalam keluarga, sementara peran seorang lelaki ialah untuk mencukupi dan menghidupi seluruh anggota keluarga. Jika ditarik lebih lanjut, maka jelaslah sekarang mengapa seorang lelaki akan sangat terobsesi akan status dan prestige, sehingga sangat butuh dihormati; sedangkan seorang perempuan akan sangat terobsesi dengan kasih dan sentuhan emosiona, sehingga butuh untuk dicintai – meskipun saya tidak katakan bahwa seorang lelaki tidak butuh dicintai atau seorang perempuan tidak butuh untuk dihormati.


KONFLIK RUMAH TANGGA AKIBAT PERBEDAAN PERAN GENDER

Pandangan evolusioner terhadap peran gender membentuk opini, bahkan stigma, dalam masyarakat bahwa seorang lelaki memang seharusnya bekerja dan berpenghasilan yang lebih besar daripada perempuan. Oleh karena itu, ketika peran ini tidak tercipta, maka timbul perasaan cemas karena merasa tidak dapat memenuhi standar budaya, takut akan stigma negatif dari masyarakat, serta takut akan hilangnya peran gender yang menjadi insting dasar di dalam diri.


Jika sebelum penyetaraan gender kaum perempuan merupakan kaum yang merasa tertekan oleh laki-laki, setelah penyetaraan gender, seringkali kaum lelaki yang merasa tertekan oleh perempuan – dan akhirnya tidak jarang si laki-laki pun akan kembali menekan perempuan dan menciptakan konflik dalam masyarakat. Tidak mudah bagi seorang lelaki untuk menerima ketika pasangannya mendapat pekerjaan dengan posisi dan penghasilan yang lebih baik darinya. Ia akan mulai merasa cemas karena ambisi serta kondisi idealnya dirampas oleh sang istri, sehingga merasa tersaingi. Muncul pikiran pada lelaki tersebut bahwa ia akan tidak dihormati, tidak diperhitungkan, serta gagal menjadi kepala dalam keluarga, karena status serta penghasilannya tersaingi oleh perempuan. Namun, di sisi lain, tidak mudah bagi laki-laki tersebut untuk mengekspresikan perasaannya karena semakin ia mengekspresikan perasaannya, semakin ia merasa cemas. Akibatnya, muncullah berbagai konflik dalam rumah tangga yang terjadi ketika sang suami tiba-tiba mudah marah ketika berbicara tentang pekerjaan dan keuangan, bahkan muncul berbagai alasan dari sang suami untuk membatasi karier istrinya dengan meminta istrinya berhenti bekerja karena merasa cemburu dengan atasan istri, anak-anak yang kurang terpelihara, kondisi rumah tangga yang dianggap berantakan, dan sebagainya.


BAGAIMANA MENGATASINYA?

Sekalipun berkembang stigma dalam masyarakat mengenai lelaki yang seharusnya lebih sukses secara pekerjaan daripada perempuan, namun tidak ada aturan “benar-salah” yang mutlak terkait dengan hal ini. Oleh sebab itu, sikap yang dewasa serta saling menghargai tanpa kondisi apapun antar masing-masing pasangan merupakan hal yang mutlak untuk dapat tetap membina rumah tangga yang harmonis. Pandangan yang bijaksana dan proporsional pada masing-masing pasangan merupakan hal yang penting agar tetap tercipta rumah tangga dimana masing-masing pasangan dapat tetap menjalankan perannya tanpa ditentukan oleh berapa uang yang dihasilkan.


Bagi sang suami, yakinlah bahwa Anda dicintai bukan karena berapa uang yang Anda hasilkan atau berapa tinggi jabatan yang Anda duduki dalam pekerjaan. Seorang istri yang tulus ialah dia yang mencintai Anda, dan bukan berbagai atribut Anda. Anda mungkin merasa bahwa masyarakat menilai Anda gagal, namun Anda perlu untuk mulai berpikir lebih menyenangkan istri Anda daripada masyarakat, bukan? Tetaplah pilih pekerjaan yang terbaik, sekalipun mungkin yang terbaik itu masih belum baik jika dibandingkan dengan pekerjaan sang istri. Yakinlah, bahwa hal tersebut terjadi atas rencana Allah, dan tetaplah berdoa (bdk. Ams 16:9; Yer 29:11).


Kedua, belajarlah untuk tidak melihat dalam perspektif hitam atau putih. “jika kalah dalam pekerjaan, maka saya gagal”, “jika istri lebih kaya, maka saya tidak dapat memimpin”, “jika ia mampu mandiri secara finansial, maka saya tidak dibutuhkan.” Pemikiran – pemikiran tersebut adalah pemikiran sempit yang seringkali membuat kita terjebak dalam kondisi depresif karena memandang dunia hanya berwarna hitam dan putih. Hidup ini jauh lebih dari sekedar hitam dan putih! Terkadang Anda mungkin lebih rendah, namun seperti Roller Coaster, hidup Anda tidak berhenti dalam kondisi yang lebih rendah. Kondisi yang rendah mungkin hanya sebagai pemacu agar Anda bisa memanjat ke yang lebih tinggi, karena toh yang-tinggi itu tidak akan ada tanpa ada yang-rendah, bukan? Sebaliknya, ketika pun Anda berada dalam posisi yang lebih rendah daripada istri secara finansial, Anda bukanlah seorang yang kalah. Tidak semua yang tidak menang adalah kalah. Tetaplah mencintai dan menyayangi istri dan keluarga Anda, maka Anda sudah menang, setidaknya dari kungkungan emosi dan pemikiran sempit Anda.


Bagi sang istri, bersyukurlah karena kesempatan itu diberikan kepada Anda. Ingatlah bahwa pesan Alkitab terhadap Anda berlaku tidak peduli betapapun uang yang Anda hasilkan atau jabatan yang Anda peroleh. Anda tetap dituntut untuk tunduk terhadap suami sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan (bdk. Kol 3:18). Tetaplah menjadi seorang penolong – bukan pesaing – bagi suami Anda, sehingga Anda tetap menjalankan peran serta alasan Allah menciptakan perempuan. Sadarilah bahwa pekerjaan yang suami Anda lakukan adalah pekerjaan terbaik yang ia mampu lakukan, dan hargailah itu – karena jika ia boleh memilih, tentu ia akan memilih yang lebih baik dari Anda demi menyenangkan Anda.


Selanjutnya, tetaplah berkarya dalam bidang yang dipercayakan kepada Anda dan akuilah suami Anda tetap sebagaimana Anda mengakui dirinya sebelum Anda mendapatkan pekerjaan tersebut. Bersyukurlah karena Allah mempercayai Anda sebagai salah satu saluran berkat bagi suami dan anak-anak Anda. Sebaliknya, tetaplah rendah hati, karena Allah bisa saja menggunakan cara lain jika cara yang diberikan melalui Anda ternyata hanya menimbulkan konflik dalam rumah tangga.


Sebagai penutup, saya tuliskan kembali suatu kalimat yang pernah diucapkan saat sebuah rumah tangga akan dibentuk, jauh sebelum diketahui siapa berpenghasilan lebih besar dari siapa; sebuah ikrar yang sebenarnya lebih dari cukup untuk menjadi syarat atas rumah tangga yang harmonis dan jawaban atas segala pertengkaran dalam rumah tangga:


… di hadapan Allah dan jemaat-Nya, aku mengaku dan menyatakan menerima dan mengambil engkau sebagai istriku/suamiku. Sebagai suami/istri yang beriman, aku berjanji akan memelihara hidup kudus denganmu, dan akan tetap mengasihimu pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, pada waktu sehat maupun sakit, dan tetap mendampingimu dengan setia sampai kematian memisahkan kita.

“Let the wife make the husband glad to come home, and let him make her sorry to see him leave.” – Martin Luther


7 views0 comments
bottom of page